Indonesia memang kaya akan kebudayaan tidak hanya yang sudah diakui dunia namun masih banyak kebudayaan Indonesia yang belum terekspos dunia. Dusun Kendal contohnya merupakan wilayah dimana jauh akan dari kata keramaian kota yang terletak di kecamatan Jatipuro kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, meski terpelosok namun dusun ini memiliki potensi kebudayaan yang luar biasa, karena seakan kebudayaan di dusun ini terhindar dari perkembangan arus moderenisasi sehingga kebudayaan tersebut masih terjaga, hal ini justru menjadi daya tarik wisatawan yang melihat atau mengikuti acara yang masih kental akan warisan nenek moyang.
Bagi masyarakat dusun Kendal kebudayaan ini sudah menjadi identitas mereka. Kebudayaan ini menjadikan apem sebagai media pelaksanaan Wahyu Kliyu, Wahyu Kliyu sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu “yaa hayyu ya qoyyum”atau “ya qowiyu” yang artinya “yang memberi kekuatan”.Wahyu Kliyu merupakan upacara adat Jawa apeman yang dilaksanakan sebagai rasa syukur bahwa setiap tahun tanah di dusun tersebut diberi kesuburan sehingga mendapatkan polowijo, padi, buah-buahan dan lain-lainnya yang melimpah atau bisa disebut sedekah bumi.
Dalam hal ini kebudayaan Wahyu Kliyu mempunyai nilai- nilai religi dimana di dalamnya terdapat makna yang mendalam yakni mengajarkan pemahaman terhadap hubungan Tuhan dengan manusia dan alam sekitarnya. Apem disini tidak hanya sebagai kue khas jawa namun juga sebagai simbol sakral dalam pelaksanaan tradisi Wahyu Kliyu yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak zama ki Renggo Wijoyo menjabat sebagai kepala Desa dilaksanakan habis panen setiap musim kemarau 1 tahun sekali.
Bagi masyarakat jawa di bulan suro pada umumnya diperingati melalui berbagai adat dan budaya yang ada di sekitar masyarakat Jawa, seperti Wahyu Kliyu merupakan salah satu tradisi dari sekian banyak tradisi masyarakat jawa yang dilaksanakan pada bulan suro. Tradisi Wahyu Kliyu yang hanya terdapat di desa Kendal merupakan sebuah tradisi asli di dusun tersebut.H
Menurut keterangan dari pak Rakino selaku sesepuh desa kendil dahulu pernah dimana masyarakat dusun Kendal tidak lagi melaksanakan tradisi upacara Apeman atau yang disebut Wahyu Kliyu.Saat itulah terjadi gempa yang membuat tanah di dusun Kendal mengalami pembengkahan atau retakan yang sangat dalam. Sehingga masyarakat di dusun tersebut merasa panik dan ketakutan karena kejadian itu, selang 7 hari setelah kejadian itu timbul wabah penyakit dimana hampir seluruh kampung banyak yang terkena wabah tersebut, bahkan ada yang sakit paginya dan sorenya meninggal maupun sebaliknya, jadi hampir setiap hari banyak orang yang meninggal sehingga pada saat itu kepala desa yang bernama Renggo Wijoyo menyuruh warganya untuk mengukur kedalam tanah yang retak dengan menggunakan sebilah bambu yang dipangkas dengan segala kekuatan beberapa orang tersebut memegang dan memasukan bambu tersebut namun tak terjangkau karena retakan tanah itu terlalu dalem.
Karena cara pertama tidak berhasil Ki Renggo Wijoyo mencari cara lain, ki Renggo Wijoyo menyuruh kembali salah satu warganya untuk memotong bambu dari ujung sampai pangkal bahkan daunya tidak dipangkas pelan-pelan tapi pasti bambu itu dapat menjangkau dasar tanah, dengan rasa senang warga bersama-sama menaikan keatas bambu tersebut.
Tak disangka setelah bambu tersebut dinaikan terlihat sebuah uang logam yang berkilau diujung sebilah bambu yang seolah-olah dilem dengan menggunakan tanah liat yang berjejer diantara daun-daun bambu itu, semua yang melihatnya terheran-heran melihat dan keajaibannya tersebut.
ki Renggo yang melihat kejadian itu lalu menyuruh warganya untuk segera mengambil uang logam untuk dicuci agar bersih, tak lama kemudian mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk mengambil langkah selanjutnya setelah lama bermusyawarah mereka pun menyepakati untuk membawa penemuan tersebut ke Kraton Solo.
Ki Renggo didampingi Ki Nano dan sekaligus Ki Samud bergegas pergi menghadap Punggowo Keraton, sesampainya di disana mereka disambut ramah oleh beberapa pegawai Keraton mereka pun diantarkan untuk bertemu Ki Menang. Dalam pertemuan yang lama Ki Renggo dan 2 pendampingnya bergantian untuk menceritakan keadaan di desanya dengan adanya gempa yang disusul kejadian aneh dimana didaun bambu yang digunakan untuk mengukur kedalaman retakan tanah terdapat uang logam dan menceritakan desanya yang terkena wabah yang luar biasa.
Setelah mendengarkan cerita dari Ki Renggo dan pendampingnya tentang keadaan yang baru terjadi di desanya, Ki Menang mengangguk-angguk lalu menyuruh mereka diam lantas Ki Menang menahan nafas panjang dan berdoa menggerakan batinnya setelah itu Ki Menang tersenyum lalu berkata “begini kisanak semua telah tertera dalam penerawanganku”, bahwa hal itu merupakan luapan dari sang pencipta yang mengingatkan kepada hambanya agar selalu bersyukur ketika mendapatkan apapun.
Sekian lama berbincang-bincang Ki Menang mengajak Ki Renggo dan para pendampingnya untuk makan bersama sehingga bisa berpikir jernih setelah makan mereka pun melanjutkan pembicaraan tersebut, sampai akhirnya Ki Menang berkata “menurut penerawanganku kalian harus melaksanakan Wahyu Kliyu secara rutin setahun sekali tepatnya dibulan Suro tanggal 15 dan mengunakan 344 kue apem sebagai sarana media dalam upacara tersebut”.
Sungguh hal itu sebuah amanah yang harus dilakukan, sebelum pulang Ki Renggo dan pendampingnya mendapat pesan dari Ki Menang agar membawa pulang lagi sebagian uang logam itu sebagai tanda bahwa didesa kalian ada keajaiban agar kelak suatu saat anak cucu kalian mengerti sejarah awal mula Wahyu Kliyu ini dengan jelas dan sebagian uang logam tersebut ditinggal dikraton untuk disimpan sebagai kenangan serta catatan bahwa ada warga dari dusun Kendal pernah menghadap dan meminta solusi atas kejadian yang pernah terjadi didesanya.
Alasan mengapa dalam tradisi Wahyu Kliyu menggunakan apem sebagai medianya karena, istilah apem sendiri sebenarnya diambil dari bahasa Arab yaitu afuan/afuwwun, yang berarti ampunan. Sedangan dalam filosofi jawa, kue apem merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Kue apem dalam tradisi Wahyu Kliyu secara garis besar mempunyai makna filosofi yang sama di kalangan masyarakat Jawa. Simbolisme kue apem sebagai salah satu makanan khas Indonesia ini sangat menarik untuk dibahas karena memiliki banyak makna yang terkandung didalamnya.
Dalam tradisi Wahyu Kliyu masyarakat setempat mengungkapkan adanya jumlah ampem yang harus dibuat dengan aturan yang telah ada yakni sebanyak 344, yang kemudian dimasukkan kedalam tenggok (wadah yang dibuat dari anyaman bambu) dan selanjutnya dibawa ketempat diadakannya Wahyu Kliyu.
Adapun prosesi utama tradisi ini pada saat pelemparan apem yang harus dilempar satu persatu dan hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki, dengan berdzikir mengucap “Yaa Hayyu Ya Qayyum” namun berubah menjadi “Wahyu Kliyu” karena faktor lidah orang jawa yang susah dalam mengucap bahasa arab. Apem tersebut dilempar ke wadah dimana alasnya terbuat dari daun pisang.
Tradisi ini sebagai wujud rasa syukur masyarakat dusun Kendal kepada Tuhan yang Maha Esa. Setelah kue apem terakhir dilempar, kue tersebut ditutup dengan daun pisang kemudian didoakan untuk mengakhiri ritual pelemparan apem sebelum dapat di bawa pulang oleh masyarakat sekitar, untuk dimakan karena masyarakat sekitar jika dapat membawa manfaat seperti dapat menyembuhkan segala penyakit, dan lain-lainnya. Selain itu daun pisang yang setelah digunakan sebagai alas wadah pelemparan apem tersebut masyarakat sekitar percaya bila diberikan ke hewan ternak maka hewan itu dapat berkembang biak dengan baik.
Acara Apeman tersebut selain dilaksanakan sebagai adat yang mana sekarang menjadi budaya sehingga tradisi ini juga sebagai catatan istimewa bagi warga Kendal. Nilai agama yang terkandung didalamnya yang mana kita sebagai manusia agar selalu bersyukur kepada sang pencipta Allah SWT atas pemberiannya.
Tradisi ini sering dihadiri bukan hanya dari warga masyarakat Kendal saja melainkan juga warga-warga lain baik dekat maupun yang jauh, serta dihadiri perangakat desa, bapak camat dan seperangkatnya, tak ketinggalan aparat kepolisian, lebih istimewanya dihadiri oleh bapak Bupati karanganyar seperangkatnya dengan secara khusus diundang untuk memberikan tauziah sendiri tanpa perwakilan.
Tak lupa bapak bupati juga membagikan sembako untuk anank-anak yatim piatu serta warga-warganya yang kurang mampu, sekarang Wahyu Kliyu bisa dikatakan sebagai acara adat Desa Kendal, bukan hanya sebagai acara adat melainkan juga sebagai ivent penting sebagai deretan cagar budaya yang perlu dilestarikan sampai kapan pun.
I. Kesimpulan
Tradisi Wahyu Kliyu merupakan tradisi Islam Jawa yang dilaksanakan setiap bulan suro tanggal 15, dimana waktu pelaksanaannya ditengah malem, prosesi ini dimulai dengan melemparkan apem berjumlah 344 sembari berdzikir mengucapkan “Wahyu Kliyu” yang sebenarnya berasal dari kata arab yakni“Yaa Hayyu Ya Qayyum” (meminta kehidupan dan kekuatan kepada Allah), secara berulang-ulang setiap melempar apem kewadah yang sudah disiapkan. Alasan mengapa dilaksanakan ditengah malam karena bukan hanya prosesi pelemparan sembari berdzikir namun terdapat pula prosesi dimana apem yang telah habis dilemparkan oleh masyarakat akan didoakan karena itulah pelaksanaannya pada waktu malam agar lebih khusyuk saat berdoa.
Setelah didoakan apem tersebut akan dibawa pulang masyarakat untuk dikonsumsi karena mereka percaya apem tersebut akan membawa kebaikan, mengapa dalam pelaksanaan Wahyu Kliyu menggunakan apem sebagai media perantaranya karena asal mu asal apem sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu “afuan” atau “afuwwun” yang berarti pengampunan, karena itulah apem selalu digunakan pada saat tradisi-tradisi jawa sebagai symbol pengampunan kepada Allah SWT.
Dalam tradisi ini bukan hanya sekedar adat namun juga memiliki nilai-nilai islam, karena dalam tradisi ini mempunyai makna sebagai pengingat umat islam akan adanya tuhan yang memberi kehidupan dan mengajarkan agar selalu bersyukur atas semua pemberiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar